Sabtu, 23 Mei 2009

Membangun Mesuji dari Pintu Budaya




Sebuah gagasan nyeleneh datang dari Penjabat Bupati Mesuji drh. Husodo Hadi. Dalam wawancara di Lampung Post, Minggu, 10 Mei 2009 lalu, dia menunjukkan potensi dan strategi membangun kabupaten baru yang lahir pada 29 Oktober 2008 ini. Dia bilang daerah transmigran ini akan segera menjadi kawasan agroindustri dan akan memberi stimulasi yang cukup untuk mengembangkan agrobisnis. Ekonomi kerakyatan, potensi perikanan dengan panjangnya Sungai Way Mesuji yang memagari, dan pengembangan perdagangan-jasa di lintasan jalinsum yang membelah wilayah.

Ia juga sudah mengelilingi wilayah seluas 2.184 km2 dan berpenduduk 188.999 jiwa itu untuk melakukan identifikasi masalah dan mengintip potensi. Juga menggali aspirasi dan suara alam yang mungkin dapat digunakan sebagai pijakan "membawa" kabupaten baru itu--setidaknya--dalam setahun terakhir.

Setelah menulis dan memublikasikan obsesi dan rencana-rencana pemangku pemerintahan di Kabupaten Mesuji itu, saya dan tentu saja rakyat Mesuji ingin segera melihat aksinya. Sebab, aksi atau kerja nyata dari apa yang disampaikan itu yang sangat ditunggu. Maka, ketika saya diajak bertemu di Kantor Bahasa, sungguh cukup terkejut. Apa relevansi lembaga bahasa yang suatu lembaga vertikal itu dengan pembangunan di Mesuji? Sebab, para bupati lain sedang gigih menggempur pembangunan fisik, ekonomi, mobil dinas, tapal batas, dan sebagainya.

Meskipun demikian, saya tetap hadir. Di ruang rapat kecil itu, Husodo menyampaikan maksud dan tujuannya. "Saya ingin pembangunan di Kabupaten Mesuji benar-benar melalui tahapan yang terstruktur dan sistematis. Maka saya ke sini, ke Kantor Bahasa," kata dia.

Pernyataan itu menambah penasaran. Namun, argumentasi dengan bahasa yang terstruktur dan pemahaman logika yang filosofis membuat keheran-heranan saya tertenangkan. Ia mengatakan pembangunan fisik, ekonomi, dan infrastruktur yang disegerakan, jika budaya masyarakat tidak disentuh dan tidak disiapkan, semua akan sia-sia. Sebab, kerusakan fisik akibat kebiasaan buruk warga akan lebih fatal.

Diskusi dengan Kepala Kantor Bahasa dan stafnya memang cukup membuka wacana tentang cara "mengetuk pintu" pembangunan justru sangat relevan. Cara pandang Husodo untuk masuk, mengundang partisipasi rakyat, memberdayakan masyarakat, dan mengajak membangun dengan konsep kebersamaan, mengoptimalkan pemanfaatan potensi, dan menumbuhkan etos kerja dinilai oleh beberapa tokoh sebagai langkah sistematis. Agus Sri Danardana, misalnya, menyatakan salut dengan "keberanian" Husodo memilih cara ini. Sebab, kata dia, cara ini sangat tidak populis dan seakan bertentangan dengan mimpi rakyat.

Husodo mengaku memilih "pintu" ini sebagai pilihan karena banyak menganalisis masalah pada pembangunan selama ini. Tesis yang dia buktikan secara empiris adalah bahwa "bangsa kita sangat pandai membangun, tetapi tidak mampu memelihara." Ini yang membuat setiap proyek fisik yang dijalankan, apalagi proyek mercusuar, selalu menemui kebuntuan yang berakhir kepada mangkraknya fasilitas.

Fakta itu memang terbukti. Proyek-proyek yang didirikan hanya dengan asumsi-asumsi sang kepala daerah, umumnya tidak meraih sukses. Proyek Menara Siger di Bakauheni, beberapa terminal bus di kabupaten, dan fasilitas umum lainnya membuktikan itu.
Proyek-proyek itu pasti sudah melalui studi kelayakan oleh para pakar. Tentunya bukan hanya kelayakan konstruksi, melainkan juga studi kemungkinan pemanfaatannya. Namun, satu faktor yang mungkin tidak dihitung oleh para perencana dan ahli feasibility study itu adalah soal budaya atau kultur masyarakatnya.

Saya memberi apresiasi yang tinggi kepada Husodo Hadi yang berani mengabil opsi ini. Ini diperkuat dengan kondisi lokal Mesuji yang ternyata memiliki budaya khas dan memiliki perbedaan dalam beberapa kelompok.

Ia memilih duduk bersama dengan para tokoh dan menyamakan suara untuk menyepakati bahasa pembangunan (bukan bahasa etnis) yang akan dipakai untuk akselerasi daerah. Ia juga memilih mendengar, memahami, dan mengapresiasi setiap budaya (kultur, kebiasaan) setempat untuk kemudian diabsorbsi menjadi kebijakan dan diejawantahkan menjadi gerak.

Impiannya, dalam masa jabatan yang hanya setahun ini, akan ingin meletakkan dasar-dasar pembangunan yang sistematis dan mengakar. Pendekatan budaya, ujarnya, adalah mengajak semua elemen untuk berdaya maksimal untuk rakyat. Dan untuk mengajak rakyat bersama membangun Mesuji, kata dia, adalah dengan cara memahami bahasanya. Dengan bahasa yang dapat diterima, akan terajut hubungan dari hati ke hati yang lebih intens. Dari situ, kata Husodo, akan ke mana kita sepakati pembangunan Mesuji, pemerintah tinggal mendorongnya.

Langkah ini tampaknya ia seriusi. Dalam waktu dekat, ia akan mengundang beberapa tokoh Mesuji, pakar bahasa, pakar budaya, dan pengamat untuk membuat diskusi terbatas soal budaya Mesuji ini. Beberapa hal harus diakomodasi, yakni soal sejarah, budaya, adat istiadat, dan seni. Ini adalah bentuk penghargaan kepada rakyat Mesuji untuk bisa hidup saling menghargai.

Langkah ini memang terkesan kontroversial. Sebab, hingga kini ia belum punya ruang untuk berkantor di Mesuji. Ia juga belum punya staf, perangkat organisasi pemerintahan, belum punya apa-apa. Namun, apakah ia tidak melakukan percepatan untuk memenuhi kebutuhan itu? Apakah ia belum bekerja dalam rangka menyejahterakan rakyatnya? Ia menjawab "tidak!" Semua tahapan sebagai mana tugasnya sebagai penjabat bupati masih on schedule. Empat butir tugas pokok diterima Husodo dari Mendagri, yakni menyusun struktur pemerintahan dan mengisinya, memfasilitasi pembentukan DPRD, memfasilitasi pemilihan bupati definitif, dan menyelenggarakan pembangunan bekerja sama dengan kabupaten induk dan provinsi terus berjalan.(Sn.Lp.Post)

Baca Selengkapnya....

Komentar Anda


Free chat widget @ ShoutMix

Kompas.Com - Nasional

Berita Sumatera Bagian Selatan